Uncategorized

Jamming the Political : Beyond Counter-Hegemonic Practices

Pernah melihat meme meme bertebaran saat Pemilu atau Pilkada berlangsung? Saya, sering. Berbagai meme dengan berbagai macam pesan di dalamnya, mulai dari yang lucu hingga yang tidak lucu sama sekali, mulai dari yang netral, yang mempromosikan calon tertentu, hingga yang tendensius menyerang pasangan lawan, semua bertebaran. Kebanyakan disebarkan melalui aplikasi chatting whatsapp, sedang sebagian yang lain disebarkan melalui link pada akun media sosial. Kesemuanya disebarkan dengan sejumlah tujuan tertentu. Salah satu contoh misalnya, meme yang berkembang saat Pemilu lalu, mengenai calon presiden jokowi yang digambarkan sebagai boneka yang dimainkan oleh orang-orang di belakangnya. Kesan yang ingin ditimbulkan oleh pembuatnya mengarahkan bahwa Jokowi tidak independen, dia berada di bawah pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan atasnya, sedang posisinya sendiri lebih lemah –atau dalam bahasa yang lebih kasar, merupakan kacung- dari pihak-pihak tersebut.

meme2
Sumber

Fenomena keberadaan meme tersebut merupakan salah satu bentuk Political Jamming yang dilakukan oleh aktor-aktor politik tertentu yang diarahkan kepada masyarakat luas untuk mengubah nilai tertentu. Apa itu Political Jamming? Bart Cammaerts dalam artikelnya Jamming the Political : Beyond Counter-Hegemonic Practices mencoba merunut dari awal kehadiran Political Jamming yang berasal dari istilah Cultural Jamming yang kemudian mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut yakni penggunaan teknik-teknik pada cultural jamming oleh actor politik dalam praktik komunikasi politik mereka, yang akhirnya melahirkan istilah baru, yakni political jamming. Cultural jamming sendiri dimaknai sebagai sebuah pengusikan atau pembaruan atas pemikiran dan budaya popular, dan mengcounternya dengan pesan-pesan yang berkebalikan, atau yang Gramsci (1971:417) katakan sebagai counter-hegemony. Cultural jamming sering diarahkan pada perusahaan-perusahaan besar sebagai bentuk ‘protes’ atas kesewenangan yang mereka lakukan. Misalnya Nike dengan pengistilahan sweatshopnya, atau perusahaan tambang Esso yang dianggap terlalu kapital hingga diganti logo S pada tulisannya dengan symbol $$ menjadi E$$O. Pengubahan symbol tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang dimaksud merupakan perusahaan kapitalis yang hanya mementingkan masalah bagaimana mendapatkan uang semata, namun mengabaikan kewajibannya untuk turut serta menjaga alam.

Memang dengan sendirinya, cultural jamming pun sudah memiliki rasa politis di dalamnya, namun dalam artikel tersebut political jamming dikhususkan pada hal-hal yang dilakukan oleh aktor politik dengan menggunakan makna yang melawan, humor, sindiran, satire, dan parody. (Hutcheon, 194 ; Dentith, 2000). Dalam hal ini, media menjadi arena pertarungan makna dan ide-ide dalam mengekspresikan pesan-pesan yang subversif, yang akan sulit jika dijelaskan dengan konsep ruang public (public sphere) dari Habermass. Oleh karna itu, Cammaerts meminjam istilah dari Gitlin yang lebih menggambarkan political jamming dan berbagai pertarungan ide yang ada di dalamnya, dengan memisahkan antara public sphericules yang berinteraksi dan berkompetisi dengan dominant public sphere. Kondisi seperti ini akan lebih dimungkinkan pada iklim demokrasi dimana berbagai perbedaan dipelihara untuk menjaga keberlangsungan iklim tersebut.

FullSizeRender
Ilustrasi

Downey dan Fenton (2003 : 193)  melihat bahwa dalam public sphericules pun terbagi lagi menjadi mereka yang autonomous sphericule, dan mereka yang counter sphericule. Autonomous digambarkn lebih dekat dengan anti sphericules, sedang counter sphericule lebih dekat dengan usahanya untuk melakukan hack atas dominant public sphere di mana di dalamnya ditokohi oleh Negara (state) ataupun pasar (market)

 

Kita coba ambil satu kasus untuk memudahkan penggambaran ini, misalnya dalam konteks Upah Buruh. Dominant public sphere , yakni state dan market, menentukan bahwa upah buruh disesuaikan dengan tingkat Upah Minimum Regional setempat. Meski begitu, dalam kultur demokrasi dimana demonstrasi jalanan merupakan hal yang biasa, maka sebagian dari buruh menjadi bagian dari counter sphericule dengan terus mengusik dominan public sphere bahwa peraturan tersebut tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan buruh. Maka ditutut jugalah jaminan atas pekerjaan dan juga asuransi kesehatan selama bekerja, misalnya. Namun ada juga yang pendapatnya cenderung berbeda dan otonom, yakni mereka yang disebut sebagai autonomous sphericule. Misalnya, mereka melihat bahwa persoalan buruh ini memang penting, namun titik tekannya ada pada pemerintah yang seharusnya menciptakan iklim bisnis yang baik bagi perusahaan, sehingga performa perusahaan bisa maksimal dan bisa memberikan yang terbaik bagi buruhnya.  Sebagai titik ekstrem yang berlawanan, ada pula mereka yang anti sphericule. Dalam hal ini dapat dimaknai sebagai mereka yang enggan menjadi bagian dari pertarungan ide mengenai buruh dengan segala hal yang ada di dalamnya, atau mereka yang melihat semua hal tersebut sebagai permainan semata antara state dan market yang dibuat seolah berpihak pada buruh, padahal di balik semua itu tak ubahnya merupakan bentuk penindasan modern yang dilanggengkan, misalnya seperti itu

Karena fenomena  cultural dan political jamming dapat digambarkan melalui berbagai level, dengan beragam arah yang berbeda, maka agak sulit sebetulnya untuk meggenggamnya dalam sebuah model teori yang konsisten. Meskipun begitu, pendekatan rhizomatic seperti yang dikembangkan Carpentier, et al (2003) dalam istilah media komunitas, dengan mengacu pada metafora rhizome yang disampaikan oleh Deleuze dan Guattari (1987:19). Rhizome merupakan penggambaran untuk keterkaitan antara satu titik dengan titik yang lain yang membuat masing-masing titik tersebut menjadi bias perbedaannya antara satu dengan yang lain, bias antara bentuk media yang merupakan mainstream dan alternative,  dan bias darimana sebuah ide yang bertarung tersebut berasal. Karena bukan hal tidak bagi state atau market untuk menggunakan cara yang sama dengan yang para jammers lakukan untuk mendapatkan perhatian dari public. Melalui penggambaran ini juga akhirnya kita bisa melihat bahwa peran internet dalam konteks political jamming tidak bisa berdiri sendiri, dan tidak powerful, karena ada juga media lain yang saling terkait, saling mempengaruhi, dan tidak bisa saling menghilangkan di dalamnya.

richard-giblett-mycelium-rhizome
Rhizome / Sumber

Lalu bagaimana political jamming itu dilakukan secara teknis? Tentu tak bisa terlepas dari cultural jamming dimana di dalamnya terdapat beberapa perkembangan seni penyampaian pesan. Pertama, yakni ide mengatribusikan makna yang berbeda pada objek. Kedua melalui ilusi optik pada surealis yang membingungkan khalayak. Ketiga, fluxus yang mengintegrasikan seni dengan kritik pada budaya dan sosial politik di masyarakat. Keempat, sekaligus juga yang menjadi relevan untuk saat ini adalah situationism melalui berbagai tekniknya yang kekinian. Misalnya seperti meme-meme yang dibuat dari cuplikan kartun yang diganti percakapannya sesuai dengan situasi yang diinginkan. Keempat hal tersebut akhirnya mengacu pada aturan utama political jamming, yakni : detournement, intrusion, transgression, dan interception. Dan meskipun barangkali terdengar progresif, dalam konteks politis, political jamming juga bisa mengarah pada intoleransi, kebencian public pada musuh bersama, dan rasisme yang mencolok pada etnis minoritas.

17427408-Abstract-word-cloud-for-Culture-jamming-with-related-tags-and-terms-Stock-Photo
Sumber

 

Referensi :

Bart, Cammaerts. 2007. Jamming the Political : Beyond Counter-Hegemonic Practices. LSE Research Online

6 thoughts on “Jamming the Political : Beyond Counter-Hegemonic Practices

  1. sebuah bentuk perlawanan baik dalam politik maupun budaya sebenarnya ditujukan untuk kepentingan kelompok tertentu yang dimarjinalkan. dan ketika kepentingan kelompok itu tercapai, bisa jadi dia tidak lagi berada di posisi minoritas tapi malah meminoritaskan kelompok yang lain.
    menurutku ini tidak akan berhenti. karena tergantung dari mana kita melihatnya. yang terpenting kemudian adalah bagaimana kita menyikapi dan bertindak pada mereka tanpa harus makin meminoritaskan keberadaan mereka

    Like

  2. Menurutku akar permasalahannya ada pada kelompok minoritas yang meminoritaskan diri mereka sendiri. Mengapa? Karena mereka punya dua kemungkinan kecenderungan, yaitu memasrahkan diri pada keadaan atau menyalahkan orang yang lebih superior, dalam kasus buruh misalnya perusahaan tempat mereka bekerja atau pemerintah. Yang mana, tanpa mereka sadari sebenarnya baik mayoritas maupun minoritas punya peran penting yang berbeda dalam masyarakat, yang apabila abstain salah satunya akan mengakibatkan ketidak seimbangan yang saling berdampak satu sama lain. Contohnya, ketika buruh meminta kenaikan gaji, jika tidak sesuai dengan kinerja, maka harga barang harus dinaikkan pula untuk memenuhi kebutuhan pembayaran upah, tentu demi kelangsungan jalannya perusahaan dan agar para buruh tetap punya pekerjaan. Dampaknya, biaya hidup mereka pun menjadi lebih mahal, karena harga barang yang naik tadi. Itulah dia, terkadang perlawanan yang tidak tepat justru menjadi bumerang bagi kita semua..

    Like

  3. Duh cakep banget tulisannya Mbak.. playing victim.. setidaknya kesadaran bahwa playing victim bagi kelompok minoritas akan berbalik menjadi merugikan bila tidak tepat perhitungan tentang bagaimana stereotipe yang tertanam dan melahirkan prasangka-prasangka yang ada ya Mbak..

    Like

  4. Political jamming kalau di Indonesia kayak di acara republik mimpi dan sentilan sentilun ya mba.. Tapi masalahnya kalau kita amati republik mimpi itu lebih satir dan mengena jamming nya.. Tapi yg diherankan acara itu di banned oleh pemerintah setelah 2 tahun eksis di layar kaca..
    Pemerintah rupanya merasa tergoyahkan kemapanan nya… Kemapanan disini artinya struktur, sistem, sejarah yang dipercaya benar, aturan yang sudah dibentuk

    Like

  5. Kemajuan TIK diiringi dengan munculnya cultural jamming dan political jamming membuktikan bahwa masyarakat memang tidak diam menghadapi fenomena-fenomena yang terjadi. Political jamming dapat menjadi bentuk perlawanan sebagai bentuk ketidakpuasan, namun juga bisa menjadi alat menjatuhkan lawan juga. Intinya kita harus lebih cermat dalam menyaring informas-informasi yang ada di media.

    Like

  6. Saya tidak menemukan jawaban konkret/aplikatif atas kutipan pertanyaan dari artikel di atas: ‘lalu bagaimana political jamming itu dilakukan secara teknis?’ Hallo, bagaimana ya mbak Hani?, Anda ‘kan kebagian yang mereview bahan tersebut dan menuangkannya dalam tulisan di blog, maka tolong dong ditekniskan apa itu political jamming bila dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari, agar saya ataupun siapapun yang membaca tulisan Anda, langsung bisa memahami poin-poin apa saja yang dimaksud, dan bisa langsung mengaplikasikannya. Saya kira penting untuk mengilustrasikan secara teknis political jamming itu melalui pemberian contoh-contoh yang relevan/terkait erat, setidaknya berkaitan dengan kehidupannya mbak Hani.
    #041, #SIK041

    Like

Leave a comment