Uncategorized

Roda Kehidupan

Sudah sejak lama aku menginginkan, sebuah meja kerja baru yang kan ku tata rapi, lengkap dengan berbagai peralatan berteknologi tinggi sebagai pelengkapnya. Sebuah komputer canggih, printer berwarna, lengkap dengan pengeras suara yang nyaring didengar. Tidak lupa, kursi kerja yang nyaman, empuk, dan bisa dipakai bersandar hingga membentuk sudut 135 derajat. Namun, setelah setahun bekerja, semua impian itu belum jua kumiliki.

Di hadapanku kini hanya ada meja usang yang berantakan. Bagaimana tidak, semua sisa makanan ditempatkan di meja ini. Belum lagi tumpukan koran sisa minggu-minggu sebelumnya yang entah mengapa belum juga dibereskan oleh cleaning service ruangan. Kursi yang kupakai adalah kursi tegak, persis seperti kursi di kondangan. Chitose mereknya. Tidak bisa dipakai untuk bersandar lebih santai. Statis dengan 90 derajatnya yang tak bergeming. Sedang peralatan canggih berteknologi itu, masih hanya sekedar janji yang entah kapan kan terealisasi. Setiap hari aku masih harus bersabar dengan laptop usang yang telah kupakai sejak masih kuliah. Antara 6-7 tahun lalu. Memang tak lagi canggih, tapi setidaknya masih bisa kupakai untuk bekerja kini.

“Pagi, Hira..”

Sebuah suara menyadarkanku dari lamunan. Samar kulihat dari kejauhan. Atasanku.

“Pagi, Mbak. Tumben siangan datangnya..”sapaku ringan.

Ada banyak atasan di ruanganku. Atasanku tadi miliki atasan, lalu atasannya miliki atasan, lalu atasannya lagi miliki atasan, atasannya lagi miliki atasan, entah ada berapa lapis hingga ujung simpulannya atasan tertinggiku adalah rakyat di negeri ini. Negeri demokrasi. Sedang aku hanya seorang abdi. Abdi dari para abdi.

Kukeluarkan laptop ASUS putih andalanku setelah menyeruput habis cangkir yang berisi teh chamomile yang kubuat pagi tadi. Satu hal yang setidaknya kusukai dari ruanganku, ada pojok baca yang dekat dengan dispenser lengkap dengan minuman teh dan kopi. Seperti impianku saat belum bekerja dulu. Tapi ah, lagi-lagi, setiap kali mengeluarkan laptop, batinku menjadi-jadi.

Kutatap lagi meja para atasan di ruangan. Rasa-rasanya bekerja akan jauh lebih menyenangkan di sana. Tak perlu lagi sepertiku. Saat butuh printer, harus mendatangi meja TU. Meminjam printer mereka yang kadang terhubung, kadang juga tidak dengan laptopku. Lain waktu, aku titip minta diprint kan dengan mengirim email pada adik PKL yang sedang magang di pojok sana.

“Bahkan adik PKL pun miliki komputer di mejanya,”gerutuku suatu hari.

Tapi apa mau dikata, kan? Semua harus tetap berjalan, aku harus tetap menyelesaikan semua pekerjaanku hari ini. Tak banyak memang, tapi biasanya siangan nanti saat semua atasan sudah berkumpul di sini, akan ada saja yang meminta bantuanku untuk menyelesaikan pekerjaan -yang aku yakin harusnya pekerjaan itu bukan ranahku. Jika tak ingat bahwa aku abdi rakyat, maka ingin rasanya kutolak semua permintaan mereka yang sering berlipat.

Empat tahun kemudian.

Kantor lagi. Mengapa banyak hari libur belakangan jatuh di hari sabtu dan minggu, gerutuku. Harusnya pemerintah memberikan pengganti libur di hari kerja, hingga aku tak harus merugi seperti ini.

Kusimpan tasku di bawah meja yang bertumpuk dokumen kerja. Pekerjaan seperti tiada habisnya. Meminta bantuan staf di ruangan pun rasanya masing-masing telah sibuk dengan pekerjaannya. Kenaikan anggaran ini benar-benar membuat kami kelimpungan luar biasa.
Hingga akhirnya kulihat ia di pojok sana, tengah menyeruput kopi kesukaannya, kopi Toraja.

“Dek dek..Bima..sini deh,”panggilku. Sepertinya ia tengah tak miliki pekerjaan.

“Oh..iya Mbak Hira, kenapa mbak? Ada yang bisa dibantu?”bergegas ia datang menghampiriku.

“Tolong bantu rekap data ini di komputer mbak ya, nanti buatkan ringkasannya dalam bentuk power point,” instruksiku padanya sembari menunjuk layar macintosh yang terdapat di atas meja rapiku.

“..mbak pinjam mejamu dulu ya, ada beberapa dokumen yang harus mbak hira teliti kelengkapannya,”sambungku padanya, staf baru di ruangan ini.

“Baik mba Hira,”ucapnya sembari mengangguk. Tak lama kepalanya tak terlihat lagi, tenggelam di balik layar lebar mac di mejaku.

Duduk di meja Bima hari itu, aku seperti terbawa lagi ke hari-hari pertama aku bekerja di sini. Ada rasa nyaman menyelusup menyentuh hati. Kutarik nafas panjang sembari menikmati kursi Chitose yang khas ini. Samar dari meja Bima, masih kudengar nyaring alunan lagu yang sejak pagi kupasang.

“Roda kehidupan dunia berputar
Mewarnai nasib manusia
Suka dan terkadang duka
Dalam kehidupan dunia
Tiada insan yang bebas dari cobaan..”

Sebuah pertanyaan mewarnai hariku pagi ini.
“Mengapa dulu tak kunikmati saja hariku? Sementara yang kukira akan menyenangkan tak selamanya terjadi demikian..”

Tanahabang, 24 Januari 2020

Uncategorized

Switch

Ada satu saran penting yang disampaikan Bu Dewi, seorang praktisi di bidang psikolog, dalam sesi sharing denganku dan teman-teman ketika itu. Jika dunia ini dipenuhi dengan berbagai peran, katanya, maka jangan lupa untuk melakukan pergantian peran untuk tiap panggung yang berbeda.

Switch. Dia bahasakan. Atau dengan bahasa lainnya, niat.

Sebuah kondisi yang menggambarkan kesadaran kita untuk berganti peran dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari satu peran ke peran lain. Kesadaran ini yang ia sebut akan sangat mempengaruhi bagaimana kecakapan kita memerankan suatu peran tertentu.

Meski terdengar sederhana, nyatanya pelaksanaannya sering tak semudah yang dikira. Banyak dari kita terjebak pada rutinitas hingga lupa mengambil jeda sejenak untuk tiap pergantian peran yang kita lakukan. Dan kukira aku salah satunya.

Pulang ke rumah seringkali kulakukan dengan kondisi tak sadar bahwa di rumah ada kondisi yang berbeda. Ada peran berbeda. Ada tuntutan yang berbeda. Saat tak benar-benar sadar telah berganti peran, aku bisa menemani anak-anakku dengan hati dan pikiran yang masih tergadai memikirkan pekerjaan. Alhasil bukan tak jarang akhirnya timbul konflik, dengan anak-anak utamanya. Sedangkan permintaan mereka akan perhatian dariku sedang tinggi-tingginya di fase ini.

Sesekali aku mengalah, sembari menyadarkan kembali diri ini untuk lekas berganti peran dengan sempurna. Dengan profesional. Tapi tak jarang pula aku justru meminta atau bahkan secara tak sadar memaksa mereka mengerti posisiku ketika itu. Sad sekali.

Bahwa aku menyukai pekerjaanku saat ini, memang benar. Tapi terus menerus mengikatkan diri untuk memikirkan pekerjaan ini juga kukira terlalu berlebihan. Sedang menurut sang bijak, yang sayangnya baru kufahami belakangan, ternyata rehat pun juga adalah bagian dari produktivitas. Dalam kadar yang semestinya pastinya.

Maka sungguh bukan suatu hal yang perlu dibanggakan saat dirimu selalu memikirkan pekerjaan. Sedangkan peran dalam pekerjaan bukan satu-satunya peran yang kau jalani dalam hidup ini.

Kau adalah istri bagi seorang imam.
Anak dari sepasang orangtua.
Kakak bagi seorang adik.
Adik bagi kakak-kakak.
Ibu bagi anak-anak.
Teman bagi banyak orang.
Sahabat bagi mereka yang istimewa.
Tetangga bagi mereka yang tinggal di sekitarmu.
Orangtua murid bagi para guru anak anak di sekolah mereka.

Dan kau adalah hamba bagi Sang Maha Raja, utamanya.

Bayak sekali kau memainkan peran di dunia, sesungguhnya. Apapun peranmu kini, saat ini, semoga tengah kau jalani dengan kesadaran yang penuh terisi. Hingga tak mesti lagi kau rasakan, riak-riak konflik yang tersebab ketidakcakapanmu dalam berganti dari satu peran ke peran yang lainnya.

Depok, 23 Januari 2020
Selamat menjalani peran!
Jadilah sebaik-baik aktor dalam setiap peran yang tengah kau lakoni 🙂

Uncategorized

Sejenak di Pengungsian

Evan, Revi, dan Robi. Demikian nama anak-anak yang pertama kali kutemui di tempat pengungsian korban banjir dan longsor di Lebak, Banten, kemarin. Ada sembilan barak jumlah keseluruhan mereka, dengan setidaknya 22 kepala keluarga pada masing-masing baraknya.

Jangan kau tanya bagaimana rasanya hidup di sana. Tentu saja tidak nyaman. Memang setiap hari tempat pengungsian tak pernah sepi, selalu saja ada relawan yang datang untuk menyalurkan bantuan ataupun sekedar menghibur para pengungsi, terutama menghibur anak-anak. Akan tetapi tetap saja, tinggal dalam jangka waktu cukup lama di tempat yang asing bagi kita rasanya mesti berbeda. Apalagi dengan fakta bahwa kau tidak punya pilihan untuk pulang mengingat rumahmu telah rata, atau telah hanyut entah ke mana.

Pun demikian, Evan, Revi, dan Robi seolah tak mau ambil pusing dengan hal itu. Tak mau pusing memikirkan bagaimana masa depan mereka, ke mana mereka setelah tinggal di barak sana, akan makan apa mereka nanti siang, sore, dan hari-hari berikutnya. Tak ada gambaran kehawatiran dalam wajah polos mereka. Hanya tawa tawa kecil yang tercipta di sana.

Diberi kesempatan untuk dapat seharian bermain dan berbaur dengan saudara-saudara di pengungsian sungguh adalah pengalaman berharga buatku. Utamanya adalah dengan berada di sana, aku bisa memaknai betul bagaimana seharusnya kita memandang dunia.

Maksudku, seringkali kita lupa bahwa dunia ini hanya tempat singgah, sementara. Maka kita sibuk membaikkan hidup kita di tempat yang sementara hingga lupa ke mana kita kan menuju akhirnya. Kita sibuk membaikkan yang sementara hingga lupa membaikkan hunian kita selamanya.

Di pengungsian, tak ada di antara mereka yang merasa nyaman dan ingin tinggal di sana dalam jangka waktu lama. Mereka sadar bahwa mereka harus mulai merancang dan merencanakan akan bagaimana mereka dan keluarga di masa depan. Berbagai kemudahan yang diterima mereka saat ini, apalagi dengan masih banyaknya relawan yang hilir mudik mendatangi, disadari tidak akan hadir untuk selamanya. Iya, semua hanya sementara. Hingga segala yang terlihat nikmat di tempat pengungsian pun tidak pernah benar-benar memikat hati. Hadirnya hanya untuk mewarnai dan dinikmati, tidak lantas melenakan mereka hingga kuatir jika harus ke luar darinya.

Di pengungsian, mereka memaknai bahwa hidup adalah tentang dinamika antara miliki dan kehilangan, antara ditinggalkan dan meninggalkan, antara kepedihan dan kesenangan. Bukan hanya sekedar harta benda, bahkan tentang rasa pun tak ada yang abadi dimiliki. Selalu berganti dari waktu ke waktu dari masa ke masa.

Maka di pengungsian lah aku belajar lagi kepasrahan diri kita sebagai hamba. Menerima dengan sepenuhnya bahwa ada kuasa yang Maha yang mengatur hidup kita. Menerima bahwa tak selamanya putusan dari Yang Maha Mengatur itu nyaman kita terima. Namun demikianlah kehidupan di pengungsian mengajari, ketidakmampuanmu untuk menerima kondisi yang ada tak pernah bisa menciptakan kondisi yang lebih baik. Sebaliknya justru membuatmu semakin merana.

Hal itu juga yang disampaikan salah seorang pengungsi, Ibu Salamah, yang berbincang santai denganku sore itu.

“Dibandingkan keluarga lain, saya masih harus bersyukur karena tak kehilangan keluarga. Meski memang harta benda habis tak bersisa..”

Ia tak menampik, tinggal di pengungsian tak pernah ia bayangkan akan ia alami dalam hidupnya. Namun ketika harus dihadapkan dengan kenyataan tersebut, baginya tak ada pilihan lain selain menerima dan tetap bersyukur atas apa yang ada. Meski hidup tak lagi tampak sempurna seperti sediakala.

Sejenak di pengungsian, aku kembali diingatkan bahwa rasa syukur dan penerimaan atas kehendak Tuhan tak pernah miliki waktu tertentu. Jika mereka yang tertimpa musibah saja tetap mampu bersyukur atas apa yang mereka hadapi, maka apa kabar dengan kita? Sudahkah bersyukur hari ini?

Bersama Robi- Revi – Evan 🙂



Uncategorized

(Tidak) Terlalu Tua

“Apakah kau cukup tua untuk melakukan suatu hal yang baru?”

Pernah aku bertanya pada diriku sendiri tentang hal ini. Pasalnya sederhana, bermula dari komentar seseorang yang menyatakan begini:

“Sudah tak usah ajak mereka, ketuaan.”

Demikian. Mereka yang dimaksud salah satunya adalah aku. Sedangkan ajakan yang dimaksud adalah sebuah undangan untuk merumuskan perubahan-perubahan baik yang sekiranya bisa dilakukan di tempat kami bekerja. Menurut pendapatnya, kami –termasuk aku, terlalu tua untuk berbicara tentang hal tersebut.

Mungkin sederhana saja bagi yang lain, tak ambil pusing dengan ini itu dan anggapan orang tentang diri kita. Namun, entah bagaimana, pernyataan itu sangat membekas buatku. Menciptakan ketakutan sekaligus memantik semangat yang mulai melesu. Sama halnya akan apa yang dirasakan oleh seorang Eric Weiner, penulis buku Geography of Faith, saat seorang suster perawat bertanya padanya:

“Sudahkah kamu menemukan Tuhanmu?”

Pertanyaan yang sangat sederhana, namun amat membekas dalam hatinya. Sedemikian membekas hingga ia memutuskan untuk berkeliling dunia, menggali tentang konsep ketuhanan dan agama melalui pemaknaan atas tiap-tiap irisan agama yang dia pilih berdasarkan indikator tertentu.

Jika Weiner amat tergelitik dengan pertanyaan, maka aku kali itu amat tergelitik dengan pernyataan. Sebuah pernyataan yang membuatku mematut-matut wajah di hadapan cermin: jangan-jangan benar aku terlalu tua untuk melakukan sesuatu yang baru?

Setelah lama tak kutemukan jawabannya, lantas logika pertanyaan tersebut akhirnya kubalik.

“Hal baru apa yang belum pernah kamu lakukan dan ingin kamu lakukan di usia setua dirimu saat ini?”

Maka terpikirkanlah beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan, yang pada intinya merupakan proses diri untuk menambah kemanfaatan. Semacam berbagi sedikit yang diketahui sambil berharap dapat mereguk umpan balik luasan ilmu dari para guru di luar sana. Lantas berbincanglah diri dengan beberapa teman, yang kukira miliki semangat kebaikan yang sama. Gayung bersambut. Sejak itu lahirlah beberapa hal baru yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Salah satunya adalah proyek membuat podcast dengan seorang adik, yang berbicara tentang dunia seputar anak -bidang pekerjaanku saat ini.

Masih sangat mula untuk banyak bercerita ini itu tentang podcast ini. Termasuk bercerita tentang harapan besar agar podcast tersebut bisa bermanfaat bagi banyak orang ke depan. Namun, apapun itu, selalu ada alasan untuk memperjuangkan kebaikan yang sudah kita mulai, bukan? Iya, untuk terus memperjuangkan kebaikan yang kita impikan. Maka mohon doakan ya, agar yang terlahir kemudian hanyalah percik-percik kebaikan yang bermanfaat lagi turut menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada :’)

“Terima kasih untukmu, seseorang yang telah menggoreskan pernyataan penting dalam benakku. Kudapati jawabannya kini, bahwa ternyata tak ada kata terlalu tua untuk memulai kebaikan :)”

Ayuk, teman, setelah ini kebaikan apalagi yang sekiranya bisa kita lakukan bersama? Kemari, berbagi denganku 🙂

Lebak, 21 Januari 2020
Note: Tak lama, seorang teman yang sama-sama dikatakan tua juga ternyata sudah lebih dulu memulai proyek perbaikan yang riil dan nyata manfaatnya. See, semangat semuanya!

Uncategorized

Gowes #6

Tepat saat memasuki kilometer ke-duaku hari ini..beberapa tetes keringat mulai turun dari dahi. Memberi sensasi sendiri pada mata, pedih. Beberapa kali mengedipkan mata, rasa pedih itu tak jua tiada. Mau berhenti pun juga rasanya nanggung, pasalnya baru saja akan memasuki jalur favorit selama perjalanan bersepeda: jalur turunan 🙂

Lalu dalam perjalanan itu tiba-tiba saja ada suara di dalam kepalaku. Bertanya, mungkin.

“Ko bisa yang menjadi bagian dari dirimu ternyata membuatmu sakit?”

Keringat adalah bagian dari diri, tapi hari ini dia hadir ‘menyakiti’ mata, yang mana keduanya adalah keseluruhan bagian dalam tubuhku. Ternyata baru kufahami..rasa sakit itu bisa timbul dari mana saja. Bisa dari luar, tak jarang juga dari dalam, dari sesuatu yang menjadi bagian dari kita.

Bagian yang agak mengkhawatirkannya, kita seringkali lebih sadar dengan segala sesuatu yang berpotensi menyakiti kita dari luar. Tapi kita seringkali abai atas kemungkinan rasa sakit yang timbul dari dalam, yang besar kemungkinan berkaitan dengan apa yang kita lakukan atas diri kita.

Kita waspada untuk tidak menyakiti orang lain agar kita tidak disakiti, tapi di sisi lain kita lupa jika kita sering menyakiti diri kita. Dalam sadar ataupun tidak. Dalam hal yang tampak ataupun hanya bisa dirasa. Kecurigaan kita pada dunia luar pada akhirnya salah alamat, karena bagian dari diri kitalah pencipta sumber rasa sakit yang sebenarnya.

Perilaku orang, misalnya, itu adalah hal di luar diri kita. Namun harapan, adalah hal yang ada dalam diri kita. Alih-alih mewaspadai diri untuk tak disakiti oleh perilaku orang, kita malah sering ‘terbunuh’ dengan harapan kita atas orang lain. Tersakiti dengan apa yang kita kira adalah bagian dari diri kita.

Meskipun rasa sakit pasti sakit *egimana, kehadiran rasa sakit yang kita alami tak selamanya menjadi hal yang negatif. Atau bahkan..kita memang perlu menciptakan rasa sakit untuk bisa menjadi diri kita dalam edisi yang lebih baik.

Maka di sinilah kita belajar tentang rasa sakit yang produktif.

Seperti rasa pedih atas keringatku hari ini, bagiku pada akhirnya tak menjadi masalah. Karena ia hadir sebagai sakit yang produktif. Justru..saat lama kita tak menciptakan rasa sakit yang produktif, saat itu juga kita sudah mati. Meski raga kita masih hidup.

Menciptakan rasa sakit yang produktif. Bukan produktif dalam menciptakan rasa sakit, yang bisa jadi destruktif bagi diri kita.

Jadi..apa rasa sakit produktifmu hari ini?