Uncategorized

Titik Terdekat

Liburan (agak) panjang kali ini awalnya ingin kumanfaatkan untuk bekerja keras mempersiapkan bahan yang sudah kutunda untuk beberapa waktu ke belakang. Sampai akhirnya, lagi-lagi rencana itu ku tunda kembali karena lebih memilih untuk menyegarkan pikiran dengan hal yang ringan. Kali ini renunganku adalah tentang titik terdekat.

Sebuah titik saat kita belum benar-benar dipertemukan dengan orang yang kita kenal saat ini, namun tanpa diketahui oleh masing-masing, ternyata pernah bersinggungan dalam sebuah jarak tertentu di masa lalu.

Salah satu dari misteri hidup tercipta karena kita hanya melihat sesuatu dari perspektif kita, dari batasan yang kita ketahui. Selebihnya, alam semesta bekerja dengan berbagai kerumitan yang berpadu. Langit mungkin ingat, betapa di suatu saat, kita nyaris bertemu. Ia juga turut menjadi saksi, saat akhirnya kita saling mengenal. Namun bagi kita, apa yang kita tau bermula bukan dari titik terdekat itu, melainkan dari titik temu yang kita sadari.

Pada sebuah perayaan hari besar di akhir tahun 2015 misalnya, aku mengabadikan beberapa foto kegiatan. Empat tahun berikutnya, aku mengenali beberapa orang yang ada dalam foto juga beberapa orang lainnya yang tidak terpotret, namun ada di tempat kegiatan. Terkadang menakjubkan saja membayangkan bahwa kita pernah sebegitu dekat dengan orang-orang yang tidak ketahui saat itu, namun ternyata mereka menjelma menjadi orang-orang dekat kita jauh-jauh hari setelahnya.

Hal ini yang membawaku terkadang memperhatikan orang-orang asing di sekitar. Siapa mereka dalam kehidupanku mendatang? Akankah akhirnya di antara mereka ada yang kukenal? Peristiwa apa yang membawa kita pada momen saling mengenal? dan seterusnya.

See, misteri itu nyata adanya. Ada yang selalu berputar di titik terdekat tanpa pernah menemukan titik temu. Ada juga yang tak pernah miliki momen titik terdekat, namun langsung bertemu dan menyatu.

Maka jika hari ini aku mengenalmu, atau sebaliknya, barangkali itu adalah satu dari sekian keajaiban dalam hidup, dari sekian banyak keajaiban lainnya. Bagaimana tidak? dari milyaran manusia di bumi, dari berbagai kemungkinan yang bisa terjadi, pada akhirnya kita bertemu dan saling mengenal.

Jadi, mari rayakan keajaiban itu dengan penuh syukur 🙂

07 April 2021

Uncategorized

Kicauan Pagi Buta

Ada ketakutan yang menyelinap, sesaat lepas hati telah senyap karena lelap dalam hangat. Ketakutan ini bernama kehilangan, tak siap jika alur hidup membawa pada sakit yang tak pernah ia bayangkan. Sedangkan untuk sampai pada tahap penuh hangat, ia telah melalui berbagai rintangan.

Tidakkah ini tidak adil? Kita justru kehilangan sesuatu setelah kita berupaya dengan susah payah menggapainya.
Ataukah memang lebih baik tak pernah merasa hangat, tak pernah merasa memiliki? Agar tak pernah kita merasakan hilang dan beban kepedihan.

Dalam hidup penuh rintangan kita berharap agar segala susah enyah tak menampakkan wajah. Namun dalam hidup senang, kita justru bimbang pada ketakutan, utamanya takut kehilangan.

Menjalani hidup sebagai aku, begitu banyak pertanyaan dalam benak yang datang dan hadir setiap waktu. Sebagian sudah pernah kudengar jawaban atasnya. Namun jawaban itu amat berbeda maknanya saat kita mengalami sendiri dan memahami sepenuh hati arti dari sebuah perjalanan hidup yang tengah kita jalani.

Seperti hal nya kata-kata Rasul ini :
Alangkah indahnya perkara orang mukmin itu. Apabila dia ditimpa kesenangan dia bersyukur, dan itu baik baginya. Apabila dia ditimpa kesulitan dia bersabar, dan itu baik baginya.

Ini ucapan Rasul yang cukup dikenal, tidak sekali dua kali mendengarnya. Namun saat mencoba memaknai artinya dan menyandingkan dengan perjalanan hidup, barulah momen aha erlebnis itu muncul ke permukaan. Ah iya, kuncinya bukan pada apakah kita memutuskan untuk menjadi orang susah yang tak akan kehilangan karena tak miliki, atau orang senang yang miliki tetapi takut kehilangan.

Sejatinya hidup tak pernah sedemikian hitam putih. Kedua peran itu akan secara bergantian kita jalankan, meski entah mana yang lebih lama.

Yang lebih penting adalah, bagaimana kita menyikapi sesuatu yang dihadapi dengan cara yang pas. Bukan tentang senang sedihnya, tapi tentang jika ia datang, sikap kita bagaimana.
Karena ada yang susah dan dia mengeluh dengan susahnya, ada juga yang susah dan ia bersabar. Ada yang senang dan dia lupa dengan senangnya hingga tak merasa cukup, ada juga yang mampu mensyukuri sekecil apapun perasaan senang yang ia miliki.Hingga akhirnya hidup membawa kita pada kesetimbangan yang tak menjemukan.

Lain hal, saat ku tafakkuri ayat 111 surah attaubah. Allah telah membeli dari orang mukmin diri dan harta mereka. Tentu ini bukan satu dua kali kudengar. Namun dengan mengkaji ayat itu dengan cara yang amat intim dan personal dengan diri kita sendiri menghadirkan rasa yang berbeda.

Oh, berarti kita ini memang tengah dalam proses jual beli ya. Allah memberi modal pada kita, lalu kita diberikan keleluasaan untuk menggunakan modal tersebut. Entah akan kita gunakan pada perniagaan yang Allah tawarkan, yang tak pernah sedikitpun memberi kerugian, atau pada pembeli lain. Orang cerdas akan menggunakan apapun modal yang ia miliki sebagai investasinya dalam perniagaan dengan Allah. Sedangkan banyak lainnya, sepertiku, terjebak dengan transaksi singkat yang memberikan kesenangan sejenak.

Dan orang cerdas itulah para mukminin, yang telah berniaga dengan menjual diri dan harta mereka pada Dzat yang Maha. Menyerahkan seluruh modal yang dipunya tak pernah mudah kan? Penuh risiko, badanmu bisa remuk, jiwamu bisa mengamuk. Kau miliki pilihan untuk nikmati senang saat ini, namun justru kau tunda untuk kesenanganmu nanti di sana. Di tempat abadi.

Begitulah, setiap tanya yang muncul kan terhubung dengan jawaban yang membuatku tidak sekedar mengetahui, tapi juga memahami, memaknainya. Tentu semoga semua ini tidak berhenti sampai di sini, tapi juga bagaimana kita melakukan apa yang telah kita tahu. Meski hanya sedikit demi sedikit, dan serba terbatas dari apa yang kita bisa.

2 April 2021