Uncategorized

Sejenak di Pengungsian

Evan, Revi, dan Robi. Demikian nama anak-anak yang pertama kali kutemui di tempat pengungsian korban banjir dan longsor di Lebak, Banten, kemarin. Ada sembilan barak jumlah keseluruhan mereka, dengan setidaknya 22 kepala keluarga pada masing-masing baraknya.

Jangan kau tanya bagaimana rasanya hidup di sana. Tentu saja tidak nyaman. Memang setiap hari tempat pengungsian tak pernah sepi, selalu saja ada relawan yang datang untuk menyalurkan bantuan ataupun sekedar menghibur para pengungsi, terutama menghibur anak-anak. Akan tetapi tetap saja, tinggal dalam jangka waktu cukup lama di tempat yang asing bagi kita rasanya mesti berbeda. Apalagi dengan fakta bahwa kau tidak punya pilihan untuk pulang mengingat rumahmu telah rata, atau telah hanyut entah ke mana.

Pun demikian, Evan, Revi, dan Robi seolah tak mau ambil pusing dengan hal itu. Tak mau pusing memikirkan bagaimana masa depan mereka, ke mana mereka setelah tinggal di barak sana, akan makan apa mereka nanti siang, sore, dan hari-hari berikutnya. Tak ada gambaran kehawatiran dalam wajah polos mereka. Hanya tawa tawa kecil yang tercipta di sana.

Diberi kesempatan untuk dapat seharian bermain dan berbaur dengan saudara-saudara di pengungsian sungguh adalah pengalaman berharga buatku. Utamanya adalah dengan berada di sana, aku bisa memaknai betul bagaimana seharusnya kita memandang dunia.

Maksudku, seringkali kita lupa bahwa dunia ini hanya tempat singgah, sementara. Maka kita sibuk membaikkan hidup kita di tempat yang sementara hingga lupa ke mana kita kan menuju akhirnya. Kita sibuk membaikkan yang sementara hingga lupa membaikkan hunian kita selamanya.

Di pengungsian, tak ada di antara mereka yang merasa nyaman dan ingin tinggal di sana dalam jangka waktu lama. Mereka sadar bahwa mereka harus mulai merancang dan merencanakan akan bagaimana mereka dan keluarga di masa depan. Berbagai kemudahan yang diterima mereka saat ini, apalagi dengan masih banyaknya relawan yang hilir mudik mendatangi, disadari tidak akan hadir untuk selamanya. Iya, semua hanya sementara. Hingga segala yang terlihat nikmat di tempat pengungsian pun tidak pernah benar-benar memikat hati. Hadirnya hanya untuk mewarnai dan dinikmati, tidak lantas melenakan mereka hingga kuatir jika harus ke luar darinya.

Di pengungsian, mereka memaknai bahwa hidup adalah tentang dinamika antara miliki dan kehilangan, antara ditinggalkan dan meninggalkan, antara kepedihan dan kesenangan. Bukan hanya sekedar harta benda, bahkan tentang rasa pun tak ada yang abadi dimiliki. Selalu berganti dari waktu ke waktu dari masa ke masa.

Maka di pengungsian lah aku belajar lagi kepasrahan diri kita sebagai hamba. Menerima dengan sepenuhnya bahwa ada kuasa yang Maha yang mengatur hidup kita. Menerima bahwa tak selamanya putusan dari Yang Maha Mengatur itu nyaman kita terima. Namun demikianlah kehidupan di pengungsian mengajari, ketidakmampuanmu untuk menerima kondisi yang ada tak pernah bisa menciptakan kondisi yang lebih baik. Sebaliknya justru membuatmu semakin merana.

Hal itu juga yang disampaikan salah seorang pengungsi, Ibu Salamah, yang berbincang santai denganku sore itu.

“Dibandingkan keluarga lain, saya masih harus bersyukur karena tak kehilangan keluarga. Meski memang harta benda habis tak bersisa..”

Ia tak menampik, tinggal di pengungsian tak pernah ia bayangkan akan ia alami dalam hidupnya. Namun ketika harus dihadapkan dengan kenyataan tersebut, baginya tak ada pilihan lain selain menerima dan tetap bersyukur atas apa yang ada. Meski hidup tak lagi tampak sempurna seperti sediakala.

Sejenak di pengungsian, aku kembali diingatkan bahwa rasa syukur dan penerimaan atas kehendak Tuhan tak pernah miliki waktu tertentu. Jika mereka yang tertimpa musibah saja tetap mampu bersyukur atas apa yang mereka hadapi, maka apa kabar dengan kita? Sudahkah bersyukur hari ini?

Bersama Robi- Revi – Evan 🙂



Leave a comment