Uncategorized

Gak Usah Banyak Alasan

Beberapa waktu lalu di aplikasi microblogging twitter banyak beredar foto-foto yang bisa dijadikan alasan bagi sesiapa yang membutuhkannya.

Misalnya:
Foto kemacetan jalanan untuk memberikan alasan kamu akan telat sampai di tempat kegiatan.
Foto diinfus untuk mereka yang ingin izin tidak masuk sekolah atau masuk kantor, lengkap dengan spesifikasi tipe tangan, besar kecil ukurannya, termasuk warna kulitnya, bisa dicari dan disesuaikan.
Ada juga foto-foto notifikasi error pada aplikasi zoom, atau juga aplikasi video conference lainnya, untuk mereka yang enggan melanjutkan ikut online conference, baik karena malas ataupun alasan lainnya.

Semuanya bermuara ke satu hal, memberikan penguatan atas alasan yang diberikan.

Meski saya memahami beberapa orang menganggap hal itu semata untuk lucu-lucuan, seperti saya, tapi ternyata beberapa lainnya menganggap itu sebagai hal serius. Dalam artian mereka benar-benar pernah dan berniat akan menggunakan foto-foto itu untuk dijadikan alasan mereka melarikan diri dari sesuatu yang tidak ingin mereka ikuti.

Berkaca ke diri saya sendiri, zaman pandemi begini memberi alasan juga menjadi sangat mudah untuk dilakukan. Tidak ada yang tahu apa yang sedang kita lakukan, karena kita tak sedang bertemu langsung.

Skip menghadiri kegiatan online yang seharusnya kita simak? alasannya mudah saja, tertidurlah, sedang ke kamar mandilah, kurang enak badanlah, sibuk dengan anak-anaklah, atau sekedar terlupa karena tengah mengerjakan hal lainnya. Lagipula siapa yang tahu?

Di sini barangkali iman kita diuji, tentang seberapa jauh kita jujur dengan Allah, jujur dengan diri kita sendiri*.

Alkisah suatu hari Ibnu Áun bercerita, ada seorang laki-laki melontarkan banyak alasan di hadapan Ibrahim. Lalu beliau memperingatkannya, “Kami telah memaafkanmu tanpa harus beralasan. Sungguh, banyak alasan akan menjeremuskan kepada dusta.”

Teruntuk kita semua, manusia memang tempat salah. Namun, jika telah salah, jangan lagi ditambah dengan kesalahan lain semisal memberikan alasan-alasan palsu atas kesalahan kita.

Kalimat-kalimat singkat serupa;

“Maaf saya telat”
“Maaf saya lupa”
“Maaf belum membalas pesannya”

barangkali sudah cukup untuk mengundang maaf keluarga, saudara, dan teman kita, daripada ditambahkan dengan kalimat penjelasan lain, ataupun lagi foto-foto lain yang seolah menguatkan cerita, tapi ternyata malah menjebak kita untuk berdusta. Tentu terkecuali jika penjelasan alasan tersebut memang dibutuhkan serta dapat dipastikan kebenarannya.

Depok, 25 Desember 2020

Leave a comment