Assignment · Uncategorized

Perempuan di tengah Kuasa Bahasa dan Wacana

In this climate of creeping authoritarianism, sexism, and racism, how do those of us in the anti-racist and women’s movement justify our seemingly narrow academic concern with language and discourse? – Gill Seidel

discourse-logo-sketchy

Sumber

Akhir tahun 2014 lalu, sebuah wacana hadir dengan nuansa yang sekilas ramah terhadap perempuan. Wacana tersebut terlahir dari seorang laki-laki yang berkuasa, orang nomor dua di negeri ini, yakni Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang mengusulkan adanya pengurangan jam kerja bagi karyawati perempuan, agar mereka bisa bermain lebih banyak dengan anak-anak mereka.

Wow! Ibu mana kan yang tidak senang memiliki waktu lebih untuk bermain dengan anaknya? Sekilas mungkin begitu. Namun, apakah iya pengurangan jam kerja ini baik bagi perempuan? Padahal tugas mengurus anak tidak hanya milik perempuan saja, kan? Para ayahpun juga harus turut andil mengambil bagian dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Apalagi saat ini Indonesia ditengarai termasuk dalam fatherless country[1]. Tanpa disertai dengan wacana pengurangan jam kerja saja, karyawati perempuan harus bergulat dengan berbagai peraturan dan kondisi yang kurang menguntungkan baginya. Misalnya, upah yang dibedakan dengan laki-laki, peluang kerja yang juga seringkali lebih menguntungkan lelaki dikarenakan perbedaan biologis yang dimilikinya (sosiobiological perspective), juga keterbukaan peluang untuk menjadi top level management yang belum tentu dapat diterima lingkungannya. Apalagi jika ditambah dengan adanya aturan pengurangan jam kerja pada perempuan. Bisa terbayangkan implikasinya?

***

Ini tentang wacana, dan implikasinya pada kehidupan manusia, utamanya kaum minoritas. Hal yang disinggung Gill Seidel dalam artikelnya yang berjudul “Right-Wing Discourse and Power : Exclusions and Resistance”[2]. Dalam artikel tersebut, Seidel menggunakan Theoritical Distinction dari Guillaumin (1972) untuk melihat adanya perbedaan antara wacana mayoritas dan wacana minoritas. Ada dua tipe wacana yang berbeda yang diuraikan dalam artikel tersebut, yakni, wacana mayoritas tentang minoritas dan wacana yang hadir dari anggota kelompok minoritas. Keduanya memiliki ciri dan sifat yang berbeda, juga efek yang berbeda pula. Wacana mayoritas/dominan selalu menempatkan dirinya sebagai pihak yang netral dan objektif serta seringkali menyebabkan kebisuan dalam hubungan yang asimetris. Adapun wacana minoritas menempatkan penindasan sebagai pusat perhatiannya. Ia dilabeli dengan sifatnya yang subjektif, berkaitan dengan politik, emosional, dan histeris (over-reacting).

event_260440102

Sumber

Dalam artikelnya, Seidel juga membahas kekhususan pendindasan terhadap kaum perempuan yang seringkali mendapatkan diskriminasi berlapis, terutama ketika mereka berasal dari kalangan budaya minoritas, terlebih jika ia merupakan orang miskin dan tidak berpekerjaan. Meskipun terdengar memilukan, nyatanya kelompok minoritas, termasuk di dalamnya perempuan, masih dianggap sebagai ‘natural group’.  Artinya, segala hal yang menimpa perempuan, dan kelompok minoritas lainnya adalah hal yang alamiah saja, lazim terjadi. Kerangka intelektual yang mendasari sebutan natural group ini berasal dari perspektif sosiobiologis yang menempatkan bahwa perbedaan biologis menentukan nasib. Implikasinya, bagaimanapun juga perempuan akan dimanipulasi sebagai bagian dari kepentingan politis laki-laki. Maka, jika pada saatnya perempuan ingin ‘mendobrak’ anggapan itu, kembali lagi pada karakteristik wacana minoritas yang dinilai emosional dan berlebihan, hingga suaranya tak begitu dihiraukan.

”Woman are paradigm case of existensial minorities, in the sense of marginalization or exclusion of minority groups”- Gill Seidel

Hal tersebut mengingatkan kita pada pemikiran Bourdieu mengenai gender dan kekerasan simbolik. Bourdieu menyebutkan bahwa penguasaan atas wacana menjadikan dominasi laki-laki sekan wajar dan alamiah. Belum lagi pengorganisasian masyarakat yang disebut Bourdieu banyak menguntungkan kaum laki-laki. Misalnya saja, bentuk tubuh laki-laki menentukan aturan main dalam kebanyakan cabang olahraga dan profesi; siklus hidup laki-laki menentukan dalam mendefinisikan syarat-syarat keberhasilan profesi, agresitivitas dan dominasinya mendefinisikan apa yang disebut sejarah, dan lain sebagainya.[3]

Selain Bourdieau, tokoh lain yang juga bersinggungan dengan artikel dari Seidel ini adalah Foucault dengan bio-politiknya yang dekat dengan istilah sosiobiologis milik Seidel. Foucault mengungkapkan bahwa dalam situasi bio-politik, biologi diperhitungkan dalam strategi politik, dan seksualitas digunakan sebagai pertaruhan politik. Implikasinya, dibentuklah manajemen kehidupan melalui normalisasi atau pendisiplinan tubuh, mengontrol, dan mengatur penduduk.[4] Contoh yang dikemukakan Seidel yakni bagaimana rezim Nazi di Jerman menambah populasi Hitler Jerman dengan cara menghamili perempuan muda yang dengan ras arya. Atau ketika pemerintah Prancis mengampanyekan peningkatan kelahiran bayi yang berkulit putih karena khawatir dengan dominasi imigran dari Afrika Selatan.

Hal itu pulalah yang dapat menjelaskan mengapa Seidel dalam artikelnya amat erat membahas kondisi dan dinamika di lapangan mengenai kaum mayoritas-minoritas, dengan kekuatan politik yang berada di belakangnya (dalam hal ini yaitu kelompok ‘sayap-kanan’), karena wacana dominan tak bisa lepas dari rezim kekuasaan yang berada dibaliknya.

Notes :

[1] http://www.aktual.com/indonesia-masuk-dalam-fatherless-country-ini-penjelasannya/

[2] Dalam buku Critical Theory : Nature of The Right : Feminist Analysis of Order Patterns

[3]Diambil dari bahan mata kuliah Postmodernisme :  Habitus, Kapital, dan Arena dalam Strategi Kekuasaan oleh Romo Haryatmoko

[4] Diambil dari bahan mata kuliah Postmodernisme :  Michel Foucault dan Politik Kekuasaan oleh Romo Haryatmoko

7 thoughts on “Perempuan di tengah Kuasa Bahasa dan Wacana

  1. Mba hani berpendapat bahwasannya wacana dominan atau wacana sayap kanan tak bisa lepas dari rezim kekuasaan yang berada dibaliknya, tetapi apakah tidak mungkin juga jika ada rezim kekuasaan yang berada dibalik wacana sayap kiri mba? Terima kasih 🙂

    Like

  2. Mbak Hani, maaf…
    Saya masih belum paham maksud dari situasi bio-politik,biologi diperhitungkan dalam strategi politik, dan seksualitas digunakan sebagai pertaruhan politik?
    Bagaimana dengan di Indonesia, apakah di Indonesia pernah terjadi strategi ini?

    Bisakah saya mengatakan bahwa penggunaan istilah “wanita” dan “perempuan” di Indonesia termasuk pada kekerasan simbolik terhadap perempuan? Karena beberapa pendapat mengatakan bahwa istilah “perempuan” lebih baik maknanya daripada “wanita”, meskipun menurut saya justru sama saja. Keduanya masih menunjukkan Patriarki mendominasi. Dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan pun masih sama saja.

    Terimakasih atas ilmunya mbak Hani

    Like

  3. Pemaparan yang menarik Mbak Hani. Jadi kalau boleh saya menyimpulkan dari penjelasan Mbak Hani, implikasi politik seksual pada praktik kolonialisme laki-laki terhadap perempuan adalah perempuan akan dimanipulasi sebagai bagian dari kepentingan politis laki-laki. Demikian pula diskriminasi berlapis, terutama ketika mereka berasal dari kalangan budaya minoritas, terlebih jika ia merupakan orang miskin dan tidak berpekerjaan merupakan salah satu bentuk implikasi politik seksual pada praktik kolonialisme laki-laki terhadap perempuan. Kemudian kesimpulan berikutnya terkait dengan posisi stereotype perempuan pada diskursus minorits apakah salah satunya adanya labeling terhadap perempuan tentang sifatnya yang subjektif, berkaitan dengan politik, emosional, dan histeris (over-reacting).Tapi saya belum begitu paham dengan definisi politik seksual itu apa ya Mbak?Terima kasih untuk pencerahannya.

    Like

  4. Menanggapi wacana pembuka dalam review di atas, saya punya seorang kawan yang baru saja melahirkan. Sejak kehamilan awal ia sudah berhenti bekerja, bukan karena ia merasa tugas ibu merawat anak tetapi sebagai hasil pelajaran mengasuh anak sebelumnya yang sambil bekerja : hubungannya dengan anak pertamanya tidak begitu dekat. Oleh karena itu ia ingin anak keduanya ini lebih dekat dengannya secara emosional. Menariknya, sang ayah juga merasa ingin punya kedekatan emosional hingga mengambil cuti dan mengatur jadwal sedemikian rupa karena selama ini rupanya ayah dianggap sebagai orang yang menghidupi keluarga dan hanya dihargai secara materiil.
    Di Jepang mulai ada program bernama Ikumen Project, yaitu hak untuk laki-laki turut mengambil paternity leave selama sebulan pasca melahirkan. Facebook pun mulai mencanangkan program paternity leave selama 4 bulan untuk pegawai laki-lakinya, baik pada pasangan normal maupun sejenis. Menurut saya, mengenai peraturan yang disebutkan Mba Hani memang terdengar mendiskriminasikan perempuan dan mengarahkan perempuan pada kodrat alaminya sebagai pengasuh anak dan lain-lain, tapi aturan inipun dirasa mencurangi laki-laki oleh sebab alasan di atas tadi.

    Like

  5. Kita memang perlu mengkritisi setiap wacana kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk perempuan, termasuk wacana kebijakan waktu itu yang diusulkan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengenai pengurangan jam kerja bagi karyawati perempuan, agar mereka bisa bermain lebih banyak dengan anak-anaknya. Oh My God!, bukannya wacana ini justru semakin memperlihatkan bahwa perempuan itu terdomestikasikan, bahwa mengasuh anak itu hanya tugasnya perempuan, bukan tugas bersama (suami-istri). Untung ini hanya wacana, tidak sampai direalisasikan. Saya meyakini, bila wacana ini diaplikasikan, akan banyak pertentangan di masyarakat, terutama pertentangan yang berasal dari para aktivis perempuan. Lalu, pertanyaan Saya untuk Mbak Hani, bagaimana tanggapan Anda terkait adanya fakta di sekitar kita, bahwa ibu-ibu kerapkali masih didomestikasikan oleh suaminya?, terus bagaimana caranya agar perempuan/istri tidak didomestikasikan oleh suaminya?
    #041, #SIK041

    Like

  6. Miris yah mba, jika melihat bagaimana pengaruh wacana terhadap kaum perempuan. Apalagi di zaman Nazi Lesbensborn dulu, ketika wacana Hitler diberlakukan untuk menambah populasi ras Aryan. Akibatnya ialah perempuan-perempuan yang dihamili, terlepas perempuan tersebut mau atau tidak. Lagi-lagi perempuan yang menjadi korban. Sayangnya, di masa sekarang khususnya dalam konteks Indonesia, wacana-wacana sayap kanan yang menyudutkan kaum perempuan masih tetap ada seperti yang Mbak Hani contohkan. Sebagai kaum perempuan sendiri, terkadang kita masih merasa bahwa ranah domestik seperti mengurus rumah merupakan tugas seorang perempuan. Kira-kira, jika seorang perempuan yang memiliki kekuasaan politik menjadi pemimpin negara, dan ia merupakan bagian dari arus sayap kiri, apakah wacana sayap kanan yang dominan di masyarakat dapat berubah ya Mba?

    Like

Leave a comment